ONEINNEWS.COM - Dari hasil autopsi kedua jenazah Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J ditemukan luka tembak yang tak terarah. Sebelum...
ONEINNEWS.COM - Dari hasil autopsi kedua jenazah Brigadir Yosua Hutabarat alias Brigadir J ditemukan luka tembak yang tak terarah.
Sebelumnya Brigadir J diketahui tewas mengenaskan setelah dihujani tujuh tembakan oleh Bharada E dan Ferdy Sambo di rumah dinas Kadiv Propam Mabes Polri, Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Dari temuan luka tembak yang terarah itu, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan itu menunjukkan penembak bukan lah orang yang jago menembak.
Menurut Choirul Anam, pihaknya telah memeriksa Bharada E, tersangka yang turut menembak Brigadir J.
Lewat pemeriksaan itu, pihaknya mendalami soal psikologis serta keterangan peristiwa penembakan.
Ia juga mendalami, soal keterangan yang menyebutkan bahwa Bharada E merupakan anggota Polri yang mahir menembak. Dari keterangan-keterangan itu pula, Komnas HAM mendalami soal pelaku penembakan Brigadir Yosua.
Anam mengatakan luka tembak di tubuh Jenazah Brigadir J memang hasil tembakan dari orang yang tidak jago menembak.
"Nah karakter lukanya yang ada di Joshua ini bukan karakter luka yang tembakannya terarah. Memang ada tembakan terarah, misalnya kepala. Tapi ada yang di tangan (tidak terarah)," ujarnya.
Bharada E jadi justice collaborator
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah secara resmi mengabulkan permohonan justice collaborator yang dilayangkan oleh Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E.
Dengan dikabulkannya Justice Collaborator tersebut, maka kini yang bersangkutan menerima perlindungan penuh dari LPSK. Keputusan ini juga sekaligus mencabut perlindungan darurat yang sebelumnya diberikan LPSK kepada Bharada E.
Tak hanya itu, Bharada E juga disebut sebagai saksi mahkota dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua atau Brigadir J. Pasalnya, lewat keterangan Bharada E, sejumlah nama sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuban Brigadir J.
Lewat keterangam Bharada E pula, kini Ferdy Sambo telah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J.
Namun, yang menjadi sorotan adalah keterangan yang disampaikan oleh Bharada E berubah-ubah. Dimana, awalnya dirinya mengaku mendapat perintah menembak Brigadir J.
Namun, keterangan selanjutnya menyebut dirinya hanya meneruskan menembak Brigadir J, setelah sebelumnya ditembak oleh Ferdy Sambo.
Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam mendorong LPSK mendalami lagi keterangan dari Bharada E. Pasalnya kini berstatus justice collaborator.
Dimana, keterangannya dibutuhkan mengukap kasus penembakan di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta menjadi terang.
Hal itu disampaikan Choirul Anam saat sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (25/8/2022).
"Kalau misal ada perubahan signifikan yang disampaikan Kapolri di publik, memang ada baiknya teman-teman LPSK melihat kembali mana konsistensi dari pengakuan dia.
Karena justice collaborator itu substansi intinya dia bisa nggak berkontribusi terhadap membuka kegelapan kejahatan jadi terang dengan satu jaminan dia konsisten terhadap keterangan," kata Choirul Anam.
Berikut hasil wawancara khusus Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Komisioner Komnas HAM RI M Choirul Anam:
Bharada RE ini dianggap saksi mahkota sekaligus pelaku. Lalu dia dapat perlindungan dari LPSK sebagai justice collaborator. Tapi keterangannya beda-beda, kadang ngomong Pak Sambo nembak dulu baru dia, kadang dia ngomong nembak dulu karena mendapat instruksi. Ini menuru Cak Anam apa memang RE dalam kondisi labil?
Kita nggak bisa komentari karena status justice collaborator itu status teman-teman LPSK. Kalau misal ada perubahan signifikan yang disampaikan Kapolri depan publik, memang ada baiknya teman-teman LPSK melihat kembali mana konsistensi dari pengakuan dia.
Karena justice collaborator itu substansi intinya dia bisa nggak berkontribusi terhadap membuka kegelapan kejahatan jadi terang dengan satu jaminan dia konsisten terhadap keterangan.
Kalau tadi kami bilang, kami periksa, Bharada E ini orangnya tenang bahkan ketika periksa pertama kali kan kami tanya ini mana Bhrada E belum datang, oh ternyata sudah sekian hari di Mako Brimob misalnya. Orangnya konsisten.
Ketika Bharada E diminta keterangan oleh Komnas HAM, bagaimana situasi fisik, performancenya gimana?
Kami ceritakan dulu bagaimana kami memeriksa. Bersamaan lima orang. Itu lima orang itu masing-masing di tempat berbeda, diperiksa oleh orang yang berbeda. Satu orang diperiksa dua penyidik kami. Di saat yang bersamaan dan pertanyaan yang sama dan pertanyaan berbeda.
Saat pertanyaan sama ada simulasinya kita. Kita bikin map dari google map jarak Sangguling ke Duren Tiga. Map kita foto, kita fotocopy terus mereka kita suruh isi kalian kalau dari Sangguling ke Duren Tiga lewat mana saja, itu salah satu contoh pertanyaan bersama. Ngecek orang ini bohong ataukah enggak dan sebagainya.
Pertanyaan yang sama kita juga melihat HP, boleh nggak HP mereka kita lihat. Nah ini juga yang sebelumnya kami dapatkan dari cyber, itu form konfirmasi metode baru atau tidak. Habis itu, barulah pertanyaan beda. Ada pertanyaan yang sama lagi, nggak bisa kami sebut di sini terus ada pertanyaan yang beda.
Kalau tadi apakah semua orang termasuk Bharada E di sini, kondisinya tangguh atau psikologinya mentalnya siap?
Rata-rata tidak siap, grogi di sini. Dengan berbagai wujudnya. Ada yang merokok lama. Kan kalau capek diperiksa, boleh ngerokok, boleh makan, yang muslim silakan salat jadi kita enak. Kalau capek ya sudah istirahat.
Itu ada proses yang ketika ditanya itu mentalnya kuat, diputar-putar itu saja konsisten. Dan nggak terlalu grogi. Salah satunya Bharada E. Yang lain juga ada. Bharada E itu mentalnya cukup untuk terus ngomong secara konsisten, padahal sudah kita puter, walaupun beberapa waktu saat istirahat ngerokoknya lama daripada yang lain.
Ada juga yang ketika tanya itu waktu di Sangguling misalnya, kamu bawain apa? Tas. Tasnya ada ini enggak, kita gali lah, maaf nggak bisa saya sebutin. Itu kaget dia ditanya begitu. Wajahnya langsung berubah. Yang gitu juga ada. Tapi kalo pertanyaan lain, landai. Jadi situasi penggalian pertanyaan ke teman ADC maupun PRT, asisten rumah tangga, sopir, nuansa psikologi maupun bahasa tubuhnya itu berbeda-beda.
Cerita awal disebutkan Bharada E seorang jago tembak, apa dalam pemeriksaan Komnas HAM juga meneliti backgroundnya?
Iya digali, tapi kami juga alat ukut menggali itu apakah dia paham. Kan begini kalau orang pegang senjata itu, tidak hanya memahami bisa nembak titik sasaran atau tidak. Tapi seberapa jauh dia memahami pistolnya, dengan kondisi anatomi tubuhnya.
Itu juga kita tanya, soal latihan berapa kali, kalau ditembak di ukuran 1,2, 3 itu kena nomor berapa? Pernah nembak orang atau tidak? Itu kami tanya. Tapi kan juga anatomi tubuh. Ketika kamu tanya, ini salah satu ya, nggak perlu sebutin namakan. Kamu pegang senjata apa? Oh saya pegang glock? Kamu apa? HS. Kenapa milih glock? Kamu punya kebebasan nggak memilih? Saya sih kepingin merk yang lain Pak. Lho kenapa bisa merk yang lain? Kita tanya. Coba lihat anatomi jarimu, kalau anatomi jari begitu kamu lebih nyaman enggak?
Megang glock atau mengang HS? Karena karakternya berbeda. Oh harusnya saya pegang HS pak, tapi karena pilihannya ada cuma glock ya kita terima saja.
Jadi ada pertanyaan yg menguji pemahaman orang ini terhadap kebutuhan anatomi tubuhnya dengan senjata.
Kalau menurut Komnas HAM apa Bharada RE pegangannya glock 17?Meskipun dok menunjukkan dia izin pegang glock 17?
Kalau pertanyaan itu misalnya yang juga pertanyaan di publik, kok itu Bharada E pangkatnya masih pakai senjata elite. Katanya jago nembak dan sebagianya. Sebenarnya pertanyaan itu nggak bisa serta merta kita jawab, kalau enggak kita lihat pertubuhan karakter lukanya.
Nah karakter lukanya yang ada di Josua ( Brigadir J) ini tidak karakter luka yang tembakannya terarah. Memang ada tembakan terarah misalnya kepala. Tapi ada yang di sini, di tangan. Itu juga bisa menandakan bahwa menembak dengan jarak pendek begitu, tidak terlalu jauh,
Bukan ahli? Bukan jago tembak? Atau memang orang yang ga biasa nembak?*
Bisa jadi. Jadi mengukur orang nggak bisa nembak bisa kita lihat, kalau kami analisis begitu tidak hanya dari orang yang nembak tapi dari sasarannya. Nah waktu itu yang sekarang adalah memang rekam jejak di lantai di rumah tkp sama yang ada di alamarhum Josua. Karakter lukanya ya tidak pada sasaran yang menentukan untuk kematian.
Karena ada luka tembak sini, pasti nggak mematikan. Nah itu memang nggak ahli. (tribun network/yuda
S:Tribunnews.com